Janji Surgawi Media Informasi di dalam Ruang Perkotaan

Modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi suatu keniscayaan yang pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya sebuah kawasan global yang ditandai dengan inovasi berkelanjutan media informasi dan komunikasi. Kawasan ini hampir tidak lagi mempunyai batas nyata ruang dan waktu, dan tergantikan oleh simulacra kehidupan ciptaan manusia. Sebagaimana tampak dalam dua dekade ini, sering ditawarkan kemudahan-kemudahan dalam berkomunikasi dengan menggunakan telepon genggam dan mendapatkan informasi melalui internet. Implikasi dari hal tersebut adalah, setiap individu mampu bertegur sapa tanpa harus berjalan mendekat dengan orang yang ingin disapa dan dengan beberapa klik saja informasi dengan sendirinya datang kepada mereka yang meminta. Akibat lain dengan tersedianya fasilitas tersebut dapat diamati dengan terpupuknya sikap enggan “membumi” masyarakat global dan terbentuknya mentalitas instan — enggan untuk bersusah payah secara fisik. Cara berkehidupan yang maya masyarakat global menjadikan mereka sulit untuk “tenggelam” dalam menjalani hidup dan hal ini lambat laun menuntun mereka ke dalam kondisi terasing dari dirinya sendiri dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat,1 baik agama maupun sosial.

Masyarakat Urban dan Bentuk Keberagamaannya

Gambaran umum masyarakat global jamak terjadi pada masyarakat urban yang akhirnya mau tidak mau mempengaruhi bentuk keberagamaan mereka. Dengan kenyataan ini, maka dimungkinkan akan munculnya tiga cara masyarakat urban mengkonsumsi agama. Pertama, agama akan ditinggalkan karena tidak relevan lagi bagi kehidupan,2 namun sekali-kali menggunakan simbol-simbolnya untuk alasan bermasyarakat.3 Kedua, agama dikonsumsi sebagai sarana sublimasi — penghiburan atau pelarian diri dari kecemasan dan kekecewaan bermasyarakat tanpa ingin tahu lebih mengenai esensi agama. Ketiga, agama tetap memainkan peranannya yang utuh di dalam masyarakat urban, dimana masyarakat tersebut masih menggantungkan diri kepada pencerahan teologis — mengimani pentingnya agama sebagai petunjuk hidup untuk menyelesaikan segala permasalahan.

Apabila ditilik dari cara masyarakat beragama melihat globalisasi, menurut Mukhsin Jamil (2008), terdapat tiga macam respon yang muncul, yaitu: menerimanya dengan segala resikonya, menolaknya dengan segala implikasinya, dan menerimanya secara kritis.4 Dengan melihat keberagamaan masyarakat urban selama ini, tertangkap kesan bahwa mereka cenderung untuk menerima globalisasi beserta produk-produknya secara kritis. Walaupun terjadi perubahan keberagamaan masyarakat urban oleh globalisasi, namun hal tersebut hanya menyentuh pada substansi tradisi sistem keyakinan dan bukan pada inti doktrin keagamaannya. Dalam batas tertentu, keberagamaan masyarakat urban telah mengalami penyesuaian dengan ruang dimana ia tinggal — ruang perkotaan modern yang kental dengan nuansa kapitalisme dan materialisme. Terlepas dari fenomena mulai berkembangnya gejala penolakan terhadap modernisme oleh kaum tradisionalis keagamaan, pada dasarnya keberagamaan masyarakat urban telah banyak berkompromi dengan modernisme dan bahkan sebagian telah terhanyut olehnya.

Rasionalitas modern yang tumbuh di dalam corak keberagamaan masyarakat urban mendorong terjadinya adaptasi, dan tentu saja adaptasi ini tidak seserius dengan apa yang terjadi pada agama Katholik Roma dengan lahirnya Kristen Protestan.5 Apa yang berubah dari keberagamaan masyarakat urban lebih pada bentuk penafsiran baru agama dengan konteks tata ruang perkotaan yang kapitalistik dan materialistik. Corak rasionalitas keberagamaan masyarakat urban tersebut mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut: pertama, keberagamaan yang sebelumnya masih dipandang sebagai hal yang menyeluruh sakral dan cenderung metafisik, kemudian berubah menjadi kegiatan yang hanya bersifat fisik dan simbolik. Kedua, pemahaman dan ekspektasi masyarakat urban terhadap sakralitas ber-keberagamaan menjadi sempit yang sebelumnya dipahami sebagai satu-satunya alasan seluruh aktivitas kehidupan, dan perubahan ini dikarenakan nilai lain yang tidak kalah penting, yakni: pragmatisme. Ketiga, peran agama di dalam keseharian menjadi kerdil, hanya sekedar sebagai instrumen legitimasi bermasyarakat. Hal ini dapat dilihat bagaimana keberagamaan hanya dipakai sebagai alat untuk mendapatkan keabsahan perkawinan, sehingga anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan mendapatkan pengakuan oleh negara dalam bentuk akta kelahiran.

Media Elektronik sebagai Instrumen Dakwah

Ruang perkotaan yang modern hanya dapat didiami oleh cara keberagamaan yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang telah ada di dalam ruang tersebut — keberagamaan yang dapat dipahami secara rasional kapitalistik-materialistik. Oleh karena itu metode dan media dakwah kemudian beradaptasi dengan kemajuan teknologi, meskipun metode dakwah secara konvensional masih tetap dipakai. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam metode penyampaian dakwah yang tidak berhenti pada khotbah-khotbah di tempat ibadah, misalnya: dakwah yang dapat dengan mudah diakses melalui televisi, VCD atau DVD, dan segala macam gadget canggih yang dapat menampilkan SMS, email, dan website religius. Perubahan metode dakwah ini mau tidak mau menuntut para pemuka agama untuk belajar dan menemukan cara kreatif dalam menyampaikan pesan-pesan agama yang sesuai dengan karakteristik keberagamaan masyarakat urban. Bak gayung bersambut, para pemodal pun melihat celah keuntungan dari hal tersebut dan memfasilitasinya dengan mendisain program-program menarik yang bersifat entertainment.

Televisi merupakan media penyiaran dakwah yang paling efektif dibanding dengan media-media komunikasi elektronik lainnya. Disamping karena murah dan mudah untuk diakses, televisi adalah barang “seribu umat” dimana masyarakat kaya sampai miskin, seluruh lapisan masyarakat setiap hari menggunakan media televisi. Dalam penyiaran dakwah keagamaan, stasiun-stasiun televisi nasional Indonesia memberikan durasi tayang yang cukup panjang bagi dakwah agama Islam, dengan alasan Islam merupakan agama yang berpenganut terbanyak, dan oleh karenanya kalkulasi rating lebih menguntungkan bagi penyelenggara program televisi. Para mubalighnya pun akhirnya menjadi orang-orang terkenal yang sejajar dengan para selebritis televisi nasional, diantaranya: Ustadz Jefry, K.H. Abdullah Gymnastiar, Ustadz Arifin Ilham, dan lain sebagainya.

Kelemahan dari dakwah melalui televisi adalah terjalinnya komunikasi yang hanya searah, dan apa yang telah disampaikan oleh para mubaligh tidak dapat dilihat kembali. Untuk mengatasi komunikasi yang searah tersebut, producer program dakwah agama di televisi mengembangkan teknologi teleconverence dan penayangan acara secara live dengan fasilitas telepon interaktif untuk membuka peran serta para penonton di rumah. Bagi para penonton di rumah yang tidak sempat menyaksikan acara tersebut pun dimanja dengan kemudahan mendapatkan rekaman dakwah yang dikemas dalam VCD atau DVD yang dijual di toko-toko.

Selain televisi, internet telah mampu menjadi rujukan bagi para pencari Tuhan. Pengunjungnya yang sebagian besar para pelajar, mahasiswa, dan karyawan kantor memiliki sebutan khusus, yakni: para jemaah virtual. Dengan adanya internet dakwah tersebut, para jemaah virtual dapat “dipertemukan” dengan Tuhan mereka secara pribadi dan berinteraksi langsung dengan para pengelola web dakwah tersebut, dan jemaah virtual yang lain untuk sekedar bertanya atau mengungkapkan pendapat. Internet dakwah menurut Cambell (2005) memiliki empat bentuk, yaitu: media penyedia informasi keagamaan secara online, media online penyembahan dan ritual keagamaan, media online aktivitas misionaris dan rekrutmen anggota agama yang baru, dan media tempat bertemunya para komunitas religius secara online.6 Tema-tema pokok yang biasa dihadirkan melalui internet dakwah, antara lain: teologi atau pengalaman spiritualitas, informasi umum mengenai agama, moralitas atau etika, aplikasi praksis keagamaan, tradisi keagamaan, komunitas, identitas keagamaan, otoritas keagamaan, dan ritus.7

Media dakwah elektronik yang akhir-akhir ini sedang naik daun di kalangan masyarakat urban adalah SMS religius. Beberapa fasilitas dakwah yang ditawarkan melalui SMS tersebut, antara lain: petikan ayat kitab suci, rekaman khotbah para mubaligh agama, informasi mengenai ajaran agama, lagu-lagu rohani sebagai ringtone telepon genggam, dan fasilitas untuk bersedekah kepada kaum miskin. Cara kerjanya pun mudah, dengan mengikuti instruksi yang diberikan oleh iklan-iklan yang menawarkannya, dan fasilitas yang diinginkan tersebut akan bekerja secara otomatis. Namun kekurangan dakwah agama melalui SMS adalah biayanya yang cukup mahal, untuk layanan polling atau sekali berhubungan rata-rata dikenakan biaya Rp. 2.000,00 per SMS, dan untuk berlangganan rata-rata dikenakan tarif Rp. 1.000,00 per SMS.

Dibandingkan dengan media-media dakwah elektronik yang lain, SMS religius memiliki keunggulan dalam hal kemasan yang ringkas, fleksibel, dan portable. Layanan keagamaan ini dapat hadir pada setiap pelanggan melalui telepon genggam yang mereka bawa setiap hari tanpa membutuhkan alat-alat penunjang lainnya. Nyatanya, keunggulan-keunggulan SMS religius ini sangat berarti bagi masyarakat urban yang setiap harinya sibuk dengan rutinitas kerja.

Persahabatan antara Amal Sholeh dan Kapital

Munculah kemudian sebuah pertanyaan kritis, siapakah yang paling diuntungkan dengan adanya media dakwah elektronik tersebut? Apakah mereka, para anggota masyarakat pengkonsumsi media dakwah dimana amal sholeh kehidupan keberagamaan mereka meningkat? Pihak institusional keagamaan? Ataukah pihak pemodal yang menyelenggarakan media dakwah elektronik tersebut?

Dari sudut pandang ekonomi, tentu saja yang paling diuntungkan adalah para pemodal penyelenggara media dakwah. Apa yang pemodal tersebut selenggarakan merupakan bagian dari trik-trik kapitalisme. Kemudian pertanyaan tersebut berkembang menjadi, mengapa para pemodal memakai agama? Para pemodal dalam hal ini sangat jeli melihat kondisi masyarakat urban, dimana permintaan pasar begitu besar oleh karena corak keberagamaan mereka yang menunjang dan daya beli mereka yang tinggi. Para pemodal melihat agama mempunyai prospek yang baik dalam meningkatkan penghasilan mereka, dan terjadilah di sana komodifikasi agama. Sedangkan dari sudut pandang identitas, pihak yang paling diuntungkan adalah masyarakat urban pengguna media dakwah dan institusi keagamaan. Identitas keberagamaan masyarakat urban dapat terbentuk dengan sendirinya sejalan dengan amal sholeh yang “terwahyukan” dari media dakwah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa, amal sholeh dan kapital seakan-akan berteman akrab dan menjalin simbiosa mutualisme. Pertanyaannya kemudian: amal sholeh seperti apakah yang tercipta melalui media dakwah tersebut? (Danang W. Nugroho)

————————

Catatan

1) Apa yang dimaksudkan di sini menjelaskan pendapat Karl Marx mengenai keadaan teralienasi dari diri sendiri dan teralienasi dari orang lain oleh karena konsep kerja yang kapitalistik.

2) Di dalam buku Daniel L. Pals (2001) yang berjudul Seven Theories of Religion, terdapat beberapa sarjana yang beranggapan bahwa, dengan berkembangnya rasionalitas masyarakat modern, para penganut agama akan meninggalkan agama yang ia percayai — seperti apa yang terjadi di Eropa paska Revolusi Industri yang berangsur-angsur meninggalkan rasionalitas keagamaan terdahulu menuju kepada rasionalitas modern dimana teknologi kemudian maju dengan pesatnya. Frazer adalah salah satu sarjana tersebut yang menyatakan bahwa dengan adanya evolusi rasionalitas masyarakat, magi telah berubah menjadi agama, dan agama pada akhirnya akan berubah menjadi ilmu pengetahuan. Namun pemikiran ini problematis, alih-alih agama punah oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, agama di Indonesia sekarang ini ditemukan sedang berselingkuh dengan mereka.

3) Yasraf Amir Piliang (2004) menggambarkan keadaan ini sebagai pospritualitas. Pospiritualitas ia definisikan sebagai sebuah keadaan dimana terjadi peleburan atau percampuran antara: spiritualitas dengan materialisme, yang profan dengan yang sakral, dan “kesucian” agama dibangun oleh kerja simulasi dan bersifat artifisial dan permukaan. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra. Hlm. 321. Singkatnya, agama bukan lagi sebagai sarana menuju esensinya namun hanya berhenti sebagai life style.

4) Jamil, M. Mukhsin. 2008. Agama-agama Baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 20.

5) Selain masalah yang bersifat teologis, Kristen Protestan lahir dari ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan gereja Katholik Roma yang cenderung tidak adil terhadap para umatnya yang berada di level kehidupan bawah. Max Weber (2007) di dalam bukunya Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme mengungkapkan keunggulan semangat Protestanisme dalam menghadapi kapitalisme dengan menggunakan rasionalitas keduniawiannya (world-view). Dengan merujuk semangat para Calvinis, Weber berpendapat bahwa kapitalisme merupakan obat untuk memperkuat diri dari konflik yang disebabkan oleh kemiskinan, oleh karena itu mencari kekayaan merupakan sebuah tugas, dan agar selamat manusia harus bekerja keras dan tidak iri dengan kesuksesan orang lain (2007: 9-10). Rasionalitas semacam ini sebelumnya tidak pernah ada di dalam tradisi keberagamaan agama Kristen, dan dengan melihat rasionalitas keduniawian yang Weber kemukakan tersebut, kita dapat melihat macam-macam rasionalitas yang cenderung dimunculkan oleh masyarakat urban.

6) Campbell, Heidi. 2005. Religion and the Internet. Communication researh Trends Volume 25 (2005), Hlm. 4-6.

7) Ibid, Hlm. 9-17.

————————

Daftar Pustaka

Campbell, Heidi. 2005. Religion and the Internet. Communication researh Trends Volume 25 (2005).

Jamil, M. Mukhsin. 2008. Agama-agama Baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pals. Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. Terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.

Sinamo, Jansen H. Berkenan pada Tuhan dan Berkenan pada Dunia. Harian KOMPAS, Rubrik Bentara Edisi Sabtu, 2 Juli 2005.

Weber, Max. 2007. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terj. Yusup Priyasudiarja. Yogyakarta: Jejak.

Satu komentar

  1. bnugroho

    Finally, I’ve found you. 🙂

Tinggalkan komentar