The Cruel Radiance: Photography and Political Violence – Linfield

Linfield, S., 2010, The Cruel Radiance: Photography and Political Violence, Chicago dan London: The University of Chicago.

Melalui The Cruel Radiance, Linfield berniat untuk menambahkan — atau mengoreksi — sesuatu hal penting di dalam karya Sontag, On Photography. Linfield tertarik untuk mendiskusikan kemampuan foto dalam memunculkan moral manusia sama seperti para pemikir fotografi terdahulu: Sontag, Barthes, dan Berger.

Linfield ingin mengetahui apa yang foto-foto kekerasan ingin katakan — atau gagal katakan — kepada manusia dalam hubungannya dengan demokrasi dan perdamaian. Alih-alih melihat foto kekerasan untuk direfleksikan, foto-foto tersebut cenderung untuk dihindari atau disembunyikan. Studi Linfield ini berangkat dari pengalaman hidupnya waktu kecil, dimana ia dikejutkan dengan buku fotografi mengenai kekejaman Nazi. Kilasan-kilasan foto yang terkandung di dalam buku tersebut selalu muncul di dalam ingatannya dan menuntunnya untuk melihat dunia secara berbeda.

Pancaran Kekejian di dalam Foto

Ketika melihat foto mengenai kekejian, kita butuh waktu jeda untuk menimbang-nimbang dan merenung akan apa yang akan kita lakukan kemudian berkaitan dengan isi foto tersebut. Hal inilah yang disebut Linfield di dalam The Cruel Radiance sebagai waktu jeda (atau pause) yang bermartabat dan mengesankan.*

Sejak pertama kali fotografi tercipta, banyak kritik muncul terhadap foto-foto kekerasan politik yang mengeksploitasi penyiksaan, mutilasi, dan kematian. Ketika kita melihat foto-foto tersebut, muncullah kesan voyeuristic (kepuasan menonton ketelanjangan dan kesakitan orang lain), dan apabila kita memalingkan pandangan dari foto tersebut maka kita terkesan telah menghormati mereka yang ada di dalam foto tersebut. Melalui The Cruel Radiance, Linfield mengkritisi hal tersebut di atas dengan mengatakan bahwa: melihat dan mempelajari orang-orang yang ada di dalam foto kekerasan merupakan aktifitas yang perlu dilakukan dan dapat diterima secara etika dan politik. Linfield kemudian menambahkan bahwa aktifitas ini juga diperlukan untuk memeriksa kapasitas kita akan kekejaman.

The Cruel Radiance mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang berfokus pada hal tersebut di atas, yaitu: 1) apa artinya melihat foto yang mengandung kekerasan dan penderitaan; 2) apakah sikap penolakan kita untuk melihat foto kekerasan dan penderitaan adalah bentuk dari penghormatan kita pada mereka yang ada di foto; 3)  mengapa foto dapat dikatakan sebagai voyeuristic, eksploitatif, dan pornografik; 4) apa arti solidaritas kita dalam hubungannya dengan foto; 5) bagaimana kita dapat memahami dunia ini apabila tidak ada foto kekerasan; 6) apa artinya bagi kita, mengakui penderitaan orang lain dan mengetahui secara menyeluruh penderitaan orang lain; dan 7) bagaimana fotografi yang mengandung trauma politis dan saksi politis merespon perubahan dunia yang secara radikal disebabkan oleh perang. Linfield mengemukakan kritisisme fotografi baru, dimana ia dalam merespon foto menolak pertentangan antara fikiran dengan emosi.

Bab-bab Ringkas The Cruel Radiance

Pada bab pertama, buku ini mendiskusikan tentang sejarah kritisisme foto dan membahas hubungan antara keteladanan historis dengan praktek fotografi. Pemikiran Linfield berangkat dari kritisisme fotografi Charles Baudelaire dan Susan Sontag yang tidak percaya dan cenderung meremehkan fotografi dokumenter. Fotografi menurut mereka adalah sesuatu yang membuat diri kita menjadi voyeurs — penikmat ketelanjangan dan penderitaan orang lain — dan sesuatu yang bertanggung jawab dalam pengeksploitasian kekejaman, pengikisan solidaritas, dan pembunuhan kesadaran manusia. Linfield mencoba untuk menganalisa dan mengoreksi apa yang mereka tuduhkan tersebut. Dan dengan ini, ia mencoba untuk membela fotografi perang.

Bab ke dua berbicara tentang empat moment foto dengan para fotografernya masing-masing: Holocaust, revolusi budaya di China, perang saudara di Sierra Leone dan negara-negara Afrika lainnya, dan  perang di Afghanistan dan Iraq. Linfield sadar bahwa representasi Holocaust terkesan pucat ketika kita merasa-rasa realitas nyatanya. Namun, ia juga percaya bahwa foto-foto mengenai Holocaust tersebut mampu membawa kita untuk mendekati realitas nyatanya bukan sebagai fakta sejarah tetapi sebagai sebuah pengalaman manusia. Dengan melihat foto-foto tersebut, Linfield percaya bahwa kita dapat melawan kebrutalan Hitler terhadap kaum Yahudi. Dengan foto-foto tersebut kita mampu untuk menyelami penderitaan para korban.

Dalam kasus berbeda, Linfield mengajak kita melihat foto-foto kebengisan penyiksaan di penjara Abu Ghraib dan kebrutalan bom mematikan para militan Islam. Foto-foto tersebut bukan karya dari para fotografer profesional, namun dipotret sendiri oleh penjaga penjara dan militan Islam dengan tujuan tertentu. Linfield menganggap foto-foto tersebut bukan lagi sebagai saksi kekejaman, namun sebagai bentuk baru dari kekejaman. Kesimpulan Linfield di dalam bab ke dua ini adalah: diperlukan keseimbangan dalam melihat foto kekerasan.

Bab ke tiga buku ini berfokus pada tiga fotografer perang, antara lain Robert Capa, James Nachtwey, dan Gilles Peress. Linfield menyebut Capa sebagai fotografer yang sepenuhnya “the optimist” berdasar pada cara Capa mempersonalisasi perang melalui karya-karya fotografinya yang mengandung solidaritas, individualitas, persaudaraan. Berbededa dengan Capa, Nachtwey merupakan fotografer “the catastrophist” oleh karena kebrutalan foto-fotonya yang ekstrim. Foto-foto Nachtwey berkaraktersitik kasar, penuh dengan kesan kekerasan yang jelas-jelas terlihat, namun secara visual sophisticated atau tidak sederhana. Banyak kritikus meletakkan karya-karya fotografi Nachtwey di dalam perdebatan antara foto jurnalistik dan bencana pornografi. Foto-foto Nachtwey dilihat telah terpisah dari sokongan religius, politis, dan historis, dan membuat kita kemudian mempertanyakan apa yang terjadi pada fotografi dokumenter apabila foto-foto tersebut tidak lagi memiliki nilai politis yang menyokong mereka. Dan fotografer ketiga adalah Gilles Peress, Linfield menyebutnya sebagai fotografer “the skeptic” karena gaya fotografisnya sendiri yang memancing banyak pertanyaan mengenai siapa atau apa subyek fotografi yang ia sedang potret.

The Cruel Radiance memberikan pemahaman kepada kita bahwa apabila kita berniat ingin mengurangi terjadinya kekerasan politik di muka bumi ini, maka kita perlu pertama-tama memahaminya dan memutuskan untuk mulai melihatnya — tidak menghindarinya dengan alasan demi solidaritas.

*Lihat juga buku “Kebudayaan dan Waktu Senggang” (2006), untuk melihat proses membuka diri dalam upaya berkontemplasi. Linfield menggunakan istilah pause ketika mengobservasi, dan Barthes menggunakan istilah punctum yang menghentikan studium (hal. 26).

Tinggalkan komentar